Perempuan itu duduk disana. Di pojok seperti biasanya. Ditemani secangkir kopi panas dan laptop yang tertutup. Kadang laptopnya terbuka dan tangannya menjelajah mengetik sejumlah aksara. Kadang hanya didiamkan menganggur begitu saja. tergeletak di atas meja. Perempuan itu memang lebih banyak diam. Hanya diam. Menerawang.
Perempuan itu duduk di situ. Di satu sore yang lengang dan sendu. Ditemani secangkir kopi panas yang tak juga ia sentuh, Sesekali ia menopang dagu. Berkali-kali ia mencoba tersenyum lantas berakhir murung. Tapi perempuan itu lebih sering diam hingga matahari turun. Melamun.
Perempuan itu aku. Menikmati sore di pojok kafe yang lengang ditemani secangkir kopi panas yang seringkali terlupakan untuk disentuh. Sekedar merenung, melamun dan melewatkan waktu tanpa kehadiran siapapun. Kadang bercerita lewat tulisan panjang pada laptop yang tergeletakan. Kadang hanya diam memerhatikan orang-orang. Kadang menikmati kesepian dan kesendirian ketika rindu mulai menyerang.
Perempuan itu aku. Menatap hampa cerita cinta yang dulu adalah tentangmu. Menunggu kopi panas mendingin agar aku lupa seperti apa kehangatan itu. Membiarkan huruf dan kalimat menunggu dalam waktu yang kubiarkan membeku. Meneriakan kosong dan sunyi pada setiap diam yang sengaja kuadakan untuk membungkam rasa-rasaku.
Perempuan itu masih aku. Tak bergeming di satu sudut yang bercerita panjang tentangmu. Membiarkan rasa kopi terbaur sempurna dengan kenangan yang akan kutegak habis agar terlupakan. Dan lantas tak akan ada lagi dulu. Tak ada kamu. Tak ada aku. Tak ada kita di sudut itu. Hanya senja yang bertahan. Hanya aksara biru yang bicara lantang.
From : "Broken Heart" Novel